wilujeng tepang deui

Pun, sapun kula jurungkeun
Mukakeun turub mandepun
Nyampeur nu dihandeuleumkeun
Teundeun poho nu baréto
Nu mangkuk di saung butut
Ukireun dina lalangit
Tataheun di jero iga!

Interaksi Tuhan, Alam & Manusia


Tuhan menciptakan alam semesta ini bukanlah tanpa tujuan. Ia hendak merealisasikan tujuan-Nya itu lewat ciptaan-Nya dan misi-Nya. Tujaunnya adalah kebaikan. Keterkaitan manusia dengan lingkungan adalah hal yang tidak dapat ditampikan. Lingkungan dan manusia melakukan hubungan timbal balik yang mana membuat interaksi antar keduanya menjadi saling tergantung, mempengaruhi dan saling bersinggungan.


Alam dengan segala fenomenanya sebenarnya telah berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan sunnatullah (hukum alam) yang ada. Alam dengan segala potensinya diciptakan oleh Sang Khalik untuk mendukung keberadaan manusia sebagai khalifah di bumi ini. Karena itu, sebagai pendukung eksistensi manusia, alam tak pernah punya potensi sebagai perusak apalagi sebagai penghancur bagi kehidupan. Sebagai pendukung kehidupan manusia, sejatinya alam hanya menghasilkan dan memberikan manfaat bagi manusia.


Pola Interaksi manusia dengan lingkunganya tergantung pada etika lingkungan apa yang ia pakai, bagaimana kesadaran ekologisnya serta bagaimana pengetahuan yang ia miliki keterkaitannya dengan lingkungan. Pengetahuan manusia lah yang mempengaruhi etika lingkungan dan kesadraan ekologis nya. Karena pengetahuan manusia merupakan sebuah konstruk sosial, dimana dengan dan lewat pengetahuan berbagai hal bisa dipengaruhi dan mempengaruhi, termasuk dalam hal ini berkaitan dengan lingkungan.


Tahap pemikiran manusia menjadi tiga yaitu teologis, metafisik dan positivis, dari pembagian ini memperlihatkan keterkaitan antara pengetahuan manusia dengan interaksi manusia tersebut dengan lingkungan sekitarnya. Dalam tahap teologis manusia mempercayai suatu kejadian dengan mengaitkannya pada hal-hal yang bersifat supranatural atau gaib atau mistis, manusia meyakini bahwa segala kejadian dimuka bumi adalah akibat dari adanya keberadaan Tuhan, Dewa, serta hal-hal mistis lain. Sedangkan dalam tahap metafisik perkembangan akal budi manusia sudah mulai terlihat walau belum maksimal, kejadian di bumi dianggap sebagai sebab dari adanya hukum-hukum alam. Pemikiran manusia pada tahap teologis dan metafisik ini membawa manusia menjadi tunduk pada alam (lingkungan), manusia menganggap dirinya sebagai makhluk yang pasif dan harus tunduk pada hukum-hukum alam yang berlaku.


Tahap ketiga dalam perkembangan pemikiran manusia yaitu positivis merupakan tahap tertinggi dari pemikiran manusia, dimana manusia telah menggunakan dan mempercayai akal pikirannya sendiri. Sehingga sesuatu hanya akan dianggap benar jika telah dibuktikan oleh panca indra dan telah di lakukan pengujian atau penelitian. Tahap ketiga ini bisa dianalogikan dengan karakteristik masyarakat kota (modern). Masyarakat kota adalah masyarakat yang melakukan interaksi dengan lingkungan yang ia buat sendiri, seperti lingkungan ekonomi, sosial, politik dan pendidikan. Lingkungan-lingkungan buatan seperti itulah yang menjadi tempat manusia hidup dan melakukan interaksi. Lingkungan buatan tersebut menuntut manusia untuk patuh pada aturan yang dibuat sendiri, seperti aturan hukum, aturan tata kota, serta aturan-aturan lain sebagai warga negara. Aturan atau hukum buatan tentunya berbeda secara sifat dari hukum alam.


Kekayaan agama/ajaran akan kearifan (etika) lingkungan, pada satu sisi memang dapat mendorong pemeluknya untuk senantiasa setia dalam melestarikan alam dan lingkungan, karena hal itu dipandang sebagai tuntutan agama yang sifatnya suci. Namun pada saat yang bersamaan, ia sama sekali tidak akan bernilai praksis jika pesan-pesan ekologis agama ini tidak segera diwujudkan dalam bentuk pendidikan agama yang ramah lingkungan atau pendidikan lingkungan yang berbasis agama. Dalam hal ini, pendidikan (agama) dan kesadaran lingkungan memiliki kaitan yang cukup erat dalam rangka turut memberi solusi bagi krisis lingkungan selama ini. Jika pendidikan berkait dengan fungsi intelektualnya (tafakkur), maka agama berkait dengan fungsi kesadaran etisnya (tadabbur).

Agama/ajaran saat ini telah benar-benar menjadi satu-satunya tumpuan harapan yang patut dipertimbangkan dalam mengatasi krisis lingkungan hidup, karena ilmu-pengetahuan dan tekhnologi yang semula menjanjikan dapat mengangkat kedudukan alam dan manusia dalam posisinya yang bermartabat, malah kini menjadi faktor dominan dalam serangkaian krisis lingkungan. Melalui penggunaan ilmu pengetahuan yang intensif, manusia telah mengembangkan kekuatan dahsyat yang menggiring kehidupan kedalam pusaran bencana. Tingkat dominasi manusia terhadap alam dan kemampuan mereka mengubah lingkungannya telah membawa konsekwensi yang tidak ringan pada keberlanjutan kehidupan dimasa mendatang.

Agama/ajaran, khususnya di Indonesia, mendapat tempat yang sangat dominan dalam sistem kesadaran manusia. Manusia–menurut beberapa peneliti–adalah makhluk agama (Homo Religius) yang senantiasa membutuhkan terhadap sesuatu yang transenden. Karenanya, banyak tindakan-tindakan manusia baik yang baik maupun yang buruk, sedikit banyak, ditentukan oleh pandangannya terhadap agama yang dianutnya. Jika pandangan hidup yang didasarkan pada norma-norma agama ini di warnai dengan pesan-pesan kearifan ekologis dari agama, bukan tidak mustahil manusia selaku pemeluk dari agama tersebut akan berusaha menghargai alam sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Sehingga dalam hal ini, kewajiban melestarikan alam, sama kuatnya dengan sejumlah kewajiban lainnya dalam agama, dan pengabaian kewajiban ini sama berdosanya dengan pengabaian kewajiban yang lainnya dalam agama.


Pendefisian sistem kehidupan tergantung atas persepsi sistem kehidupan seseorang. Kalau seseorang didefinisikan bahwa kehidupan kita dimulai dari kita lahir sampai kita mati, tidak ada alam akhirat baik surga maupun neraka, maka cukuplah tujuan hidup itu untuk dapat makan, sandang dan rumah yang cukup dan hiburan. Tentu ini akan sangat berbeda, kalau kita definisikan bahwa dalam kehidupan kita ada alam akhirat,maka tujuan hidup ialah untuk mengabdi kepda-NYA. Yang artinya melaksanakan perintah-perintah Sang Pencipta dalam bentuk melakukan kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan-NYA., yang semuanya menuju ke Ridho Nya yang penuh cinta.
Dalam wacana kosmologi kontemporer, sebenarnya telah ditemukan apa yang dikenal sebagai prinsip antroposis, yang bisa ditafsirkan sebagai afirmasi terhadap adanya tujuan yang terencana dari penciptaan alam ini yakni dihasilkannya kehidupan dengan puncaknya adalah manusia.menurut prinsip ini alam mengikuti alur perkembangannya, yang “ditata dengan halus” sehingga dapat menghasilkan alam semesta yang begitu indah.



Jangjawokan bagian kehidupan budaya masyarakat Jawa Barat


Jangjawokan atau ucapan tegas adalah sejenis Afirmasi /mantra yang ada dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat, jangjawokan merupakan bagian dari mantra sama dengan jampe, asihan, singular, rajah dan aji / ajian. Tentunya sebagai mantra jangjawokan ada yang bersifat baik dan buruk tergantung fungsi dan peruntukannya, mantra menurut saya diambil dari dalam beberapa naskah kuno bisa dikatakan sebagai doa, doa memohon pada yang dimaksud namun memang perbedaan jelas ada pada jangjawokan dan doa yang kita kenal selama ini.

Jangjawokan kebanyakan adalah perkataan permohonan kepada para ciptaan Sang Kuasa bukan langsung kepada Sang Kuasa, Jangjawokan memohon pada sesuatu kekuatan yang dimiliki oleh suatu binatang, benda, sifat, alam atau apapun yang dimiliki oleh “sesuatu” itu contohnya

aji mega aji halimun !
jar ngaing deuk meta
jar ulah deuk teu rasa
jar kudu deuk ngerta
aji na awak suka rosa
Suka rosa ka ngaing
dat nu katincak cai
ngaing nya nu duwanana

Seperti jangjawokan diatas yang meminta pada Angin / Awan dan kabut merupakan jangjawokan untuk berjalan secepat kilat dan tak terlihat yang orang kenal dengan Ajian Napak Sancang dimana dalam Jangjawokan tersebut memohon pada ciptaan Sanghyang Tunggal langsung.

Inilah perbedaan yang sangat mendasar pada lelaku masyarakat Sunda dahulu bahwa mereka meminta pada ciptaan Yang Maha Kuasa bukan berarti menampikan Yang Maha Kuasa dan ‘menTuhankan” ciptaan Yang Maha Kuasa tetapai lebih merupakan penghormatan atau penyampaian bahawa semua mahluk ciptaan Sang Maha Kuasa adalah sama kedudukannya oleh karena itu mereka harus menghormati dan menganggap bahwa semua itu memiliki “kekuatan” atau “fungsi” masing masing dan dari fungsi inilah Jangjawokan itu meminta.

Namun pada kelanjutannya jangjawokan atau sejenisnya banyak disebutkan atau dianggap sebagai perbuatan syirik, bid’ah atau sesat dll, padahal jika kita perhatikan dan salami arti dari jangjawokan itu sendiri banyak pesan atau sesuatu yang sangat baik terdapat di dalamnya seperti jangjawokan pada saat melahirkan seperti

Utun, Inji, mangka ati-ati !
Ceuli ulah sok sadenge-dengena ari lain dengeeunana,
Panon ulah sok satenjo-tenjona, ari lain tenjoeunana,
Sungut ulah saomomg-omongna, ari lain omongkeunana,
Suku ulah satincak-tincakna, ari lain tingcakeunana,
Leungeun ulah sacokot-cokotna lamun lain cokoteunana.
Irung ulah sok saambeu-ambeuna ari lain ambeueuna

Jangjawokan tersebut sering disebutkan dikatakan oleh seorang paraji (dukun bayi) / bidan kampung saat bayi lahir arti dari jangjawokan di atas adalah:

“Utun, Inji, berhati-hatilah! Telinga jangan mendengar sesuatu yang tidak boleh didengar. Mata jangan melihat sesuatu yang tidak boleh dilihat. Mulut jangan berbicara sesuatu yang tidak boleh dibicarakan. Kaki jangan menginjak sesuatu yang tidak boleh diinjak. Tangan jangan mengambil sesuatu yang tidak boleh diambil. Hidung jangan mencium sesuatu yang tidak boleh dicium.”

Dari jangjawokan diatas kita dapat tahu suatu nilai yang luhur yang sangat baik maksudnya untuk si bayi tersebut, tidak ada sesuatu yang buruk yang terkandung di jangjawokan tersebut namun sungguh sayang banyak orang orang menganggap sesuatu yang buruk pada jangjawokan padahal mereka bahkan tidak tahu apa yang terkandung didalamnya.

Jangjawokan digunakan di hampir setiap prilaku kehidupan masyarakat Jawa Barat, seperti pada saat menanam padi sampai memanen dan memasukan padi ke dalam lumbung bahkan pada saat padi ditutu sampai dimasak kesemuanya ada jangjawokan yang mengiringi tindakan tindakan itu. Dari sini kita bias tahu bahwa masyarakat Jawa Barat sangat berhati hati atau sangat menghargai apapun itu hingga semua prilaku tersebut diiringi oleh jangjawokan, hal ini bukankah sama dengan bedoa yang dilakukan oleh orang orang lain ?

Pada perkembangannya Jangjawokan atau sejenisnya di kalangan kehidupan masyarakat Sunda banyak mengalami perubahan dengan penambahan atau pergantian kalimat kalimat yang berunsur Islam, terdapat perbedaan yang sangat mendasar bahkan terkadang menjadi hilang makna nya karena salah pengartian, namun biasanya jangjawokan seperti ini sudah tidak lagi dipakai atau fungsi dan makna nya sudah tidak lagi ada dalam jangjawokan itu. Namun ada juga yang artinya sama dengan jangjawokan asalnya seperti

Siriwi kula siratin
Mina aji kurawul pais awak
Papag papupang-pulang
Cunduk nyungcung datang rahayu
Anu runtuh sira nu gempur
Nu ngadek sira nu paeh
Nu nyimbeuh sira nu baseuh
Nu nyundut sira nu tutung
Nya aing Ceda Wisesa
Panca buana di buana panca tengah
Tiis ti peuting ngeunah ti beurang
Ngeunah ku nu Rumuhung ---- diganti Allah Taala
Ahung ----- diganti Ya Allah hurip waras

Saat ini jangjawokan masih digunakan di sebagian umum masyarakat Sunda dan khususnya Masyarakat adat Sunda. Jangjawokan yang meerupakan urutan kata seperti puisi atau lantunan nada adalah sebuat “Ilmu Alam” yang sangat tinggi fungsi dan hasilnya, Jangjawokan dilakukan tentunya harus dengan sebuat kekuatan hati dan keyakinan hati bahwa apa yang akan kita lakukan akan terwujud disamping kita harus tau makna dan arti Jangjawokan itu tentunya ada beberapa yang sangat sacral harus dilakukan suatu ritual dahulu untuk menguasai jangjawokan itu namun banyak pula yang hanya dikatakan secara spontan saja tanpa harus melakukan prilaku ritual apapun.


Dalam perkembangannya dijaman modern ini, jangjawokan (afirmasi) masih bisa digunakan, hanya saja "ketidak yakinan" penerus dari leluhurnya yang telah kurang mempercayainya bahkan tidak mempercayainya, karena beberapa hal/faktor sebagai penyebabnya. padahal jangjawokan adalah sarana untuk membangun diri kita untuk berinteraksi (membangun keyakinan) dengan Tuhan, diri sendiri dan Alam-nya.

so, pilih & pakailah jangjawokan yang telah ada, atau
buat sendiri afirmasi positip dari sekarang !
 _/\_

Hung,,, Ahuung,,,.
Rahayu Suasti Astu Nirmala Seda Malilang
Tabe Pun !!

dicutata tina seratan http://www.facebook.com/notes/boedak-satepak/interaksi-afirmasi-jangjawokan-masyarakat-jawa-barat/10150560785135250

Tidak ada komentar: